CERPEN- Karena Itu
KARENA ITU
Oleh: Tirozatul Khoiriyyah
Namaku Haniful Luthfi,
aku santri tertua di ponpes ini. Bertahun-tahun aku hidup di bangunan tua ini. Belajar,
menghafal al-quran, pengajian kitab kuning, itu makananku setiap hari. Ketika
mereka asyik membicarakan kaum hawa, aku hanya terdiam dan tak berkomentar
apa-apa, aku tak paham tentang itu, bahkan aku takut dengan kaum itu.
Di tempat ini
hidupku sangatlah monoton, tak berani merubah langkahku sebelum beliau
mengutusku. Aku yakin dengan pilihanku ini, karena aku tau kepompong pasti akan
menjadi kupu, di sini aku berfikir kaum hawa itu seperti bayangan “Bayangan itu
nggak akan pernah bisa tepat di bawah kita, meskipun kita sudah jauh mengejarnya
tapi, bayangan akan di bawah kita jika matahari sudah tepat di atas kepala
kita.”
“Nang kesini nang!”
terdengar suara abah memanggilku. Aku
pun bergegas untuk menghadap beliau. “Nggeh wonten nopo...? “ “Begini nang, ini nanti akan ada acara
jamiyyah bulanan, tempatnya di ndaleme abah Ulin, badanya abah iki agak nggak
kepenak... tulung mengko seng nekani awakmu wae
ya...! Mengko abah salamke mawon sama abah Ulin. Aku pun meyetujui
ucapan beliau. “Nggeh bah...”
Tepat pukul 16.00 aku berangkat dari pondok,
ku kayuh sepedaku dengan penuh semangat. Selang beberapa waktu tibalah aku di
sana. Ku parkirkan sepeda ini dan ku bergegas menuju ke ndalem beliau. Setttt......
langkahku terhenti, badanku terasa gemetar jantungku berdegup kencang. Aku
melihat KH. Ahmad Mustofa (kyai kondang,idolaku) beliau sedang berjalan dengan digandeng putrinya.
“Sungguh cantik”
Astagfirullah, seketika kutundukkan pandangan ini, rasanya sangat berat tapi,
“Ingat Hanif neraka sangatlah panas.” Kata itu ku ulangi terus-menerus dalam
hatiku, ku berfikir dengan cara itu nafsu ini tetap tertahan di habitatnya.
Malam ini tak
seperti biasanya pikiranku tak fokus. Hafalanku berlarian, entah kemana tali
pengikatnya. Kusudahi dulu hafalanku, karna percuma, saat ini diriku sedang
kacau. Ku terus berpikir mencari sebab apa diriku seperti ini. “Kejadian tadi
sore?” terbesitlah pertanyaan itu dibenakku. “Apa gara-gara habis ketemu kyai Mustofa?
Rasanya tak mungkin kalau gara-gara hal
itu saja. Rasa ini tuh bebeda...!!!”
“Argh... melelahkan!”
Kulupakan itu semua kuraih balok empukku dan kutidurkan jasad ini. Krinnggg...
jam beker berdering, jarum jam menunjukkan pukul 02.00. Aku bangun dan kuambil
air wudlu, kuhadapkan diriku ini kepada sang Kholiq, kuceritakan semua
masalahku kepada-Nya. “Ya Allah jagalah diriku ini supaya terus tetap berada di
jalanmu ya Allah. Amiin....” “Putrinya
kyai Musthofa” Tanpa sengaja nama itu
terlintas dalam hatiku. “Apa karena dia?” Setiap aku berfikir tentang kejadian sore tadi
hati ini berdegup lagi dan lagi. “Wah
bahaya kalau ini emang masalahnya, harus segera kuatasi, jika tidak bisa-bisa
aku yang kena afatnya, Huh.... jangan sampai.”
Saat ku sendiri aku
masih bisa menahan hawa nafsu ini, tapi
entah kenapa kalau mata ini melihatnya lagi meskipun hanya dalam gambar, nafsu
ini memberontak bak seekor macan yang baru melihat mangsanya.
Tak tau, entah
kenapa saat ini ragaku berubah menjadi macan. Ku temui Paijo, Lukman, dan Riza (mereka
ini pengamat kaum hawa). ”Jo, Man, Riza....!”
Mereka kompak menyahutiku “ya....ada
apa kang? Monggo-monggo kang,
silahkan duduk.” Aku pun duduk bergabung dengan mereka. “Begini Jo, aku mau
minta bantuan kalian, sebenarnya ini sih kedengeran nggak lazim, tapi aku pikir
hanya kalian sajalah yang bisa nyelesain ini semua.” “Lha ono opo kang?” “Kalau
aku rasa- rasa kan aku iki lagi tresno karo uwong Jo. Lha sekarang aku
ini minta tolong sama kalian!” “tolong
opo kang?” “Tulung aku jalukno
nomere dek.....,” Dengan nada tinggi Paijo penasaran dengan cewek yang
ku maksud itu. “Nomere
sopo kang? “ “Em... nganu“. “
Sopo to kang?” “Dek Silfa, putrine kyai Musthofa”. Mereka bertiga
tersontak kaget mendengar jawabanku ini “ Ha....” Riza, ”Itu beneran kang?” “lha iya... masak bohongan? Lukman pun ikut angkat
suara. ”Emangnya sampeyan sudah tau kalau itu memang benar rasa cinta,
ataukah hanya rasa kagum saja?” “Aku sendiri masih bingung,Man...”
Tiba-tiba Paijo
menarik tanganku, dia mengajakku kehalaman belakang. Hanya ada aku dan dia di
tempat ini.Wajah Paijo sangat serius tak seperti biasanya. “Saya ini mau bicara
jujur sama sampeyan.” “Bicara apa?” “Ya
gimana ya kang, sebenere iki sih aib’e orang, tapi demi kebaikan kamu
kang, yo wes lah ra popo.” “Lha
emange kenapa?” “Gini lho
kang.......sebenere dek Silfa iku wes pernah duwe pacar, nek emang kamu nggak
percaya sama aku, aku punya buktinya kang... “
Aku nggak percaya sama omongan
Paijo. “Kamu nggak usah alasan ya Jo...
bilang saja kamu itu gak mau ngasih aku, kamu takut kalau kesaingkan? Mulai
sekarang aku nggak mau jadi temenmu lagi Jo!”
Paijo menimpali perkataanku ini, seolah-olah dia nggak butuh aku lagi. “Aku
milih nggak dikancani sampeyan saja, dari pada aku ngerti kalau santrinya
abah, melenceng cuma gara –gara campur aduke tanganku iki. Sampeyan iki
haruse mikir, sampeyan itu sudah jadi ustad disini, sampeyan juga
ya sudah dipercaya abah, apa sampeyan mau merusak kepercayaan beliau?
Tidak kan?” Aku hanya bisa
mendengarkanya,tak ku ucapkan sepatah katapun untuknya. Dia pergi meninggalkan
ku.
Yang penting
pokoknya dek Silfa. Aku gak mikirin perkataan Paijo. Ada banyak jalan menuju ke
Roma, itula pedomanku. “ Paijo gak mau bantuin, gak papa. Aku mau matur sama
abah saja, siapa tau abah bisa bantu aku.”
Tok tok tok
“assalamu’alaikum...” Aku sowan kepada abah. “Masuk nang...!” Aku masuk dan menghampiri beliau. “Arep ono opo?” “Aku mau cerita bah” “crita apa?”
Badanku gemetar tapi, ku berusaha membuka mulut ini. “Saya ini baru ada rasa sama seseorang” “Sopo iku?” “Itu bah, em...putrinya kyai Musthofa.” Abah hanya terenyum tipis mendengar jawabanku
ini. “Sudah to nang...jangan ndok
terus-terusno rasa senengmu iku, fokusno wae awakmu sama pekerjaan seng
ndok lakoni sekarag iki!” Aku tak
bisa mengelak perkataan beliau. “Nggeh
bah, assalamu’alaikum...”
Karna apa yang di
ucapkan abah tadi tak sesuai dengan pleaning yang ku rencanakan, akupun
keluar dari ndalem dengan perasaan sangat hancur. Aku menyendiri, ku
renungi pitutur-pitutur abah tadi, sampai akhirnya aku terhanyut oleh
mimpi.
Kriing......pengganggu
tidurku sudah berbunyi, itu tandanya aku harus bangun. Aku harus temui kekasihku,
kekasih yang setia menemaniku, yang selalu mendengarkan curhatanku, dan dia
juga yang selalu memberi jawaban atas masalah-masalahku.
11.30 pengajian
kitab kuning telah usai, santri-santri pun berhamburan keluar, paling hanya
beberapa santri saja yang masih ada di tempat ini, di antaranya ada Zidan,
Ulin, dan lain sebagainya. Rasanya tak kuat memendam masalah ini sendiri, mau
cerita sama Paijo lagi, takut salah, cerita sama siapa ya......? Kuhampiri
Zidan dan ku ceritakan semua masalah ku kepadanya.
“Begini lho kang,
ada benarnya juga perkataan Paijo itu, di samping itu juga abah kan sudah
memberi wejangan sama sampeyan. Dulu waktu aku masih baru menjadi santri
disini, sampeyan yang mengajariku caranya ta’dzim pada guru kita.
“Jika kyai sudah mengutus kita, walaupun pekerjan itu terasa berat untuk kita
lakukan, lakukan saja hal itu dengan ikhlas, karna sebenarnya kalian belum tau
bahwa salah satu kunci barokah itu, adalah dari suatu apa yang beliau tuturkan kepada kita.”
Mungkin pekataan Zidan ini adalah jawaban dari kekasihku, setelah kuceritakan
semua masalah-masalahku kepadanya tadi malam. Karena dawuh beliau akhirnya
kucoba mengikis sedikit demi sedikit rasa ini, tak kan kubiarkan dia muncul
lagi di hati ini.
1 tahun sudah
berlalu aku masih menjadi Hanif yang seperti dulu. Hanif yang kuper, Hanif yang
masih penakut, bahkan aku masih belum punya calon pendamping hidup.
Jarum jam tepat pukul 15.00 itu artinya aku
harus mengajar di kelas adik-adik pondokku. ” Teet.....teet....” Bel sudah berbunyi
artinya pertemuan kali ini telah usai.” Sekian dulu materi pada hari ini, wallahu
a’lamu bishowaab.” Wassalamu ‘alaikum warahmatullahi wabarakatuh.” Aku berjalan keluar meeninggalkan kelas ini.
“Ustadz Hanif....!” Suara itu menahan langkah kakiku, ternyata itu suara Salwa (muridku).
“Iya ada apa Wa? Ada yang ingin kamu tanyakan?” “Itu ustadz..., sebenernya ini
sih nggak ada hubungannya dengan pelajaran tapi, ini....” Aku bingung
melihat tingkah bocah itu, tak seperti biasanya. ”Bilang saja.., nggak
usah takut!” Diapun mulai membuka mulutnya
“Sebelumnya aku mau minta maaf dulu ya ustadz, mungkin pertanyaanku ini
sedikit kurang sopan. Sebenarnya dari dulu Salwa kagum dengan kepribadian
ustadz. Kalau boleh Salwa tau, ustadz sudah punya calon pendamping hidup belum?
Misalkan belum, Salwa punya kakak
ustadz, namanya kak Chilya. Kak Chilya itu orangnya bukan hanya cantik, tapi
dia juga seorang penghafal al-quran, dan saat ini itu..., dia masih mencari
imam yang tepat untuknya. Kalau Salwa lihat-lihat sih ustadz cocok sama kak
Chilya. Tapi yang perlu ustadz tau, dengan Salwa bicara seperti ini bukan
berarti ustadz harus bilang iya kepada Salwa ya....! Tapi Salwa harap... ustadz
mau memikirkannya lagi, nanti kalau misalkan ustadz setuju, kapanpun Salwa siap
membantu ustadz.” J “Sebener....” Belum
sempurna kata ini terucap dia pun malah lari entah kemana tujuannya, apa karena
dia malu? Mungkin juga karena... ,Biarin aja ah tu bocah.
Malam ini kegiatan
pondok telah usai semua, tinggal beberapa hari lagi aku menjadi mutakhorijin
(alumni) dari pondok ini. Tapi apa daya aku jika tangan ini tak mampu untuk
meraih itu semua. Ibu pasti akan menanyakan hal itu lagi kepadaku.
Argh....pusing, ”Apa aku terima tawaran
Salwa saja ya.....?”
Sekarang abah baru
ada di ruang tengah, aku memilih lewat pintu samping supaya beliau tak perlu
repot untuk menemuiku. “Assalamualaikum”
“Waalaikumsalam, ada apa?” “Mau matur
bah” “Ya matur’a ana apa?” Ku
membuka mulutku dengan penuh rasa ragu. “Itu bah... saya sebentar lagi akan
menjadi mutakhorijin dari ponpes ini dan itu artinya aku harus kembali
pulang ke rumahku, tapi saya itu takut kalau pulang bah...” “Lha kenapa kok takut?” “Ibu itu dulu pernah
bilang sama Hanif, kalau misalkan Hanif sudah boyong (lulus) dari pondok
ini ibu itu pengen kalau Hanif ngenalin calon istri Hanif sama ibu, tapi saat
ini Hanif malah belum ada calonnya...” Abah hanya terdiam tak memberi sedikitpun
respon kepadaku. Ku beranikan untuk memulai pembicaraan lagi. “Kemarin Salwa bilang sama saya bah, kalau Salwa punya
kakak, dia itu seorang penghafal al-Qur’an, saat ini dirinya baru mencari calon
imam yang tepat untuknya. Kalau misalkan Hanif sama dia saja, nopo abah kerso?”
(apa abah setuju?) Abah memalingkan wajahnya dariku, beliau berdiri dan
meninggalkanku.
3 hari setelah
kejadian itu, abah tak pernah mengutusku lagi. Hari ini beliau tinda’an
(pergi), yang biasanya aku ikut serta bersamanya, hari tidak bahkan aku tak
tahu beliau pergi kemana? Pukul 02.00 seperti biasanya aku
bangun dan kutemui Dia. Tin...tin... klakson itu membuyarkan dzikirku
kepada-Nya. “Siapa sih?” Ku intip dari
belakang korden kamarku “Itu abah” ku
Jam 02.00, seperti
biasanya aku bangun dan kutemui kekasihku. Tiiin...tiiin... suara klakson
itu membuyarkan dzikir ku, “Siapa
sih?” ku intip suara itu dari jendela
kamarku. “Itu mobilnya abah” Aku lari ke halaman dan ku buka gerbang untuknya
“Kenapa ada mobil banyak?” satu persatu mobil itu masuk ke halaman pondok ini,
aku masih penasaran siapa yang bersama baliau itu.
“Hanif...Hanif...”
abah memanggilku, beliau memintaku untuk membuatkan teh untuk para tamunya.
“Nanti setelah buat teh, kamar tamu tolong dirapiin ya... soalnya
saudara-saudara abah akan bermalam di sini.”
“Nggeh bah” Ternyata itu
saudaranya abah. ”kok tumben ya,saudaranya abah pada kumpul semua? Biasanya kan
mereka sibuk ngurusin pondoknya masing masing. Nggak tau ah...”
Abah mengirimkan
pesan di hp ku, mungkin abah kecapekan, sampai –sampai beliau mengutusku lewat
sms. “Nang... kamu pagi ini masaknya agak pagian dikit ya..., nanti kalau sudah
jam 08.00 sarapannya aturke (hantarkan) ke ruang tengah...!” “Nggeh bah...”
Jam 08.00 satu persatu
makanan kuhantarkan ke ruang tengah, tak seperti yang ku kira, ternyata di
ruang itu sudah dipenuhi sudara-saudara abah. Karna pintu yang akan ku lewati
tertutup oleh mereka, terpaksa ku berhenti dibelakang korden, kreeek.....
kubuka korden itu dan ku haturkan satu persatu makanan ini. “sangat cantik,
sepertinya tak asing wajah itu, siapa ya?” Karena trauma kejadian kemaren, tak
berani ku lama-lama menaptanya. Aku takut, diriku menjadi macan lagi.
Karena banyaknya
makanan yang harus kuhaturkan, telinga ini tak sengaja mendengar percakapan
beliau. “Gimana Zulfa? Kamu mau kan
hidup denganya?” Terdengar abah bertanya kepada seorang perempuan. Perempuan
itu pun menjawab dengan sangat sopan. “Nggeh derekaken mawon.” (Ya,saya
ngikut saja). Tak mengerti apa yang kudengar
ku biarkan saja perkataan itu lewat.Pekerjaan ini sudah selesai aku pun keluar
untuk melanjutkan aktifitasku. “Hanif....” abah memanggilku, aku berhenti dan
kembali ke tempat semulaku “Nggeh
..?” “Kesini nang!” aku dipersilahkan
abah untuk duduk di sampingnya. “Dia ini
yang namanya Hanif.” Abah seperti memperkenalan diriku. “Ada
apa ini?” (dalam benaku bertanya)
“Seperti yang sudah
dibicarakan sebelumnya, saya ini sudah tua, badan ini juga sudah mulai melemah,
disamping itu santri yang berminat di ponpes ini juga semakin hari semakin
banyak. Dari situ lah saya berpikir kalau ponpes ini membutuhkan penerus dari
diriku, sedangkan masalahnya satu, abah ini tidak memiliki keturunan.” Abah mengelus pundak perempuan cantik yang
ku lihat tadi, “Dia ini keponakan abah, namanya Zulfa, kemaren abah pergi
menjemputnya, dia dari Mesir, dia menjadi dosen disana. Kalau katanya kemaren
kamu membutuhkan pendamping hidup, apa kamu mau didampingi Zulfa?” Aku tersontak kaget mendengar tawaran abah
itu, “Apa ini mimpi, rasanya mustahil?”
(aku berkata dalam hatiku) Abah membangunkan lamunanku, “Gimana nang, mau....?” Dengan sangat gerogi aku menjawab pertanyaan
beliau, “Nggeh bah kulo nderekaken
mawon”
“Saya terima
nikahnya Zulfa Ramadhani binti bapak Hamdan.alm dengan maskawin tersebut
dibayar tunai” Tepat tanggal 15, bulan 5
tahun 2015, akhirnya ku lantunkan juga ikrar ini.
YU
Keren
BalasHapusceritane mantul... (y)
BalasHapusInspirasi kaum Bersarung
BalasHapusLuar biasa ceritanya
BalasHapusBagus saya suka
BalasHapusKomentar ini telah dihapus oleh pengarang.
BalasHapusMantul
BalasHapusBagus ceritanya
BalasHapusMantap jiwa. Ceritanya bagus.. Terus berkarya
BalasHapusSubhanallah , luar biasa ceritanya. 😍😍
BalasHapusmasyaAllah, walau hanya cerpen bisa jadi motivasi untuk kakak kakak yang menjaga baik hatinya untuk selalu istiqomah
BalasHapusBagussss
BalasHapusLuar biasa.. bagus banget ceritanya
BalasHapusLike..👍
BalasHapusBagus
BalasHapusLike... Cukup bagus dan menarik...
BalasHapusMantap
BalasHapusMantap
BalasHapusCerpen yang bermanfaat💪
BalasHapus👍
BalasHapusMantul.....
BalasHapusMantul.....
BalasHapusKerennn mantapp bangettt👍
BalasHapusKerennn mantapp bangettt👍
BalasHapus👍👍
BalasHapusIs the best,,
BalasHapusInspiration
BalasHapusTeruska karya mu kawan,,
BalasHapusTiroz dan bathozar,, 👍👍
BalasHapusSemangat kawan,,
BalasHapusTiroz dan bathozar
BalasHapusKeren bingits,,,,
BalasHapus👍👍👍👍
BalasHapusJosss bray
BalasHapusMantep
BalasHapusNusuk banget
BalasHapusSipppppppp
BalasHapusSae critane
BalasHapusBagus ceritanya
BalasHapusWes pokoke
BalasHapusSeru boooooosss
BalasHapusDahsyaaaaaaaat
BalasHapusNendang bingiiiiiiiittss
BalasHapusAsoyyyyyyy coyyyyy
BalasHapusRia. Seh aktif?
BalasHapus